Indonesia Masih Gandrung Taman Tetangga
(menjelajah
pandangan masyrakat Indonesia)
“Taman
tetangga selalu terlihat lebih hijau” Itulah kira-kira bahasa yang paas untuk
bekas luka lama Indonesia yang masih dipikirkan sehingga menumbuhkan ‘luka
baru’. Luka baru disini dimaksudkan untuk memberikan gambaran ‘kebiasaan’ orang
Indonesia yang cenderung melihat ‘taman tetangga terlihat lebih hijau’ hanya
sekali dalam sejarah kita betul-betul memuji taman kita sendiri, walaupun pada
awalnya sempat tersiar beberapa ketergantungan pada kehijauan tetangga.
Pada
maasa kemerdekaan Soekarno sebagai pelopor menunjukkan kepercayaan diri untuk
menentukan kemerdekaan sendiri, walau pada awalnya ada kabar menunggu pemberian
jepang, namun hal itu dapat dibuktikan pada tanggal 17 agustus 45 silam. Dari
segi social ekonomi kita banyak mengadopsi dan menarik perussahaan asing untuk
dimasukkan kedalam Negara kita untuk melakukan eksploistasi besar-besaran. Kita
cenderung memilih percaya pada orang lain dari pada percaya pada diri/anak
bangsa sendiri. Kita lebih suka barang import dari pada baranag kita sendiri,
nampaknya taman tetangga lebih hijau masih terus menggurita didalam darah anak
bangsa kita.
Selanjutnya
taman yang terlihat begitu hijau terlihat dari Negara seberang, gaya pemuda-pemuda
bangsa kita, menjadi penggemar terberat pada gaya penampilan Jepang dan
gandrung dengan film-film Korea, memang itu bukan hal terlalu buruk justru
menjadi baik dalam konteks diplomatic-seharusnya, namun pada kenyataannya tetap
saja tidak memberikan kebaikan. Hal itu terlihat dari tarik ulurnya Kontrak
antara Indonesia-Jepang dan sempat bersitegang soal kontrak Energi seperti yang
disampaikan oleh Kedubes Jepang melaluinya suratnya ditujukan kepada
Presiden SBY “Dubes Jepang menyatakan, kegagalan proyek Donggi Senoro tidak
hanya berdampak pada hubungan bisnis sektor energi Indonesia dan Jepang, tetapi
juga pada keseluruhan kerja sama investasi kedua negara.” (Kompas). Dari
konteks budaya, pergeseran terjadi secara signifikan.
Taman
Tetangga Terlihat Lebih Hijau, bukan saja hanya Nampak dari social-budaya saja
namun belakangan ini taman yang berasal dari dipelataran nan jauh disana dengan
berlabelkan AGAMA. Baha’I begitulah nama taman yang belakangan ini mulai
digandrungi kehijauannya oleh bangsa ini. “Pemerintah melalui Menteri Agama,
Lukman Hakim Syaifuddin pernah menyatakan bahwa Baha’i merupakan agama yang
keberadaannya diakui institusi. Pernyataan tersebut sontak menggegerkan
masyarakat Indonesia.” (REPUBLIKA.CO.ID)
Bangsa ini memang tidak pernah bosan memuji taman yang hanya terlihat dari
kejauhan, taman yang hanya dilihat dengan mata telanjang tanpa menggunakan alat
bantu untuk melihat aspek dan titik apa saja yang ada didalam taman. Dan
sebaliknya bangsa ini cenderung apatis, acuh-tak acuh atas keberadaan taman
bangsa ini yang sangat kaya raya, bukan saja hanya alamnya namun juga
manusianya.
Demikianlah
kecenderungan bangsa ini atas taman tetanggga yang selalu dipandang lebih hijau
dari taman sendiri. Persoalan yang dianggap sepele/tidak seberapa justru kalau
penulis piker hal iniilah yang menjadi batu penghalang untuk bangsa ini sulit
sekali untuk menatap apa yang ada dibalik sana. Mengulang sejarah untuk
mempercayai dan berdiri dikaki sendiri harus diulang seperti masa proklamasi,
adalah hal yang perlu dimiliki sebagai ‘gadah’
untuk menghancurkan kerasnya penghalang yang tumbuh didalam diri anak
bangsa ini.
perlu
kita sadari secara utuh apa-apa yang telah ada dan dimiliki oleh bangsa dengan
kebudayaan yang tinggi seperti yang kita miliki.
Tidak cukup menarikkah taman
sehijau seperti yang kitaa miliki?
Dari
segi social Budaya, apa sih yang kurang dari bangsa ini. Kita memiliki ribuan
budaya dari ujung keujung nusantara. Kita memiliki suku yang jumlahnya mari kita baca: Suku Bangsa
Kita
memiliki suku, mari baca: Budaya Indonesia
Kita
memiliki kekayaan alam, mari kit abaca: http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alam
Kita
juga memiliki agama yang kita anut dan kita imani keberadaannya dari zaman
zaman. Namun semua itu nampaknya tidak begitu menarik perhatian ‘mata-telanjang
anak bangsa ini’, baca di: Agama Nusantara
Namun
heran dan aneh bin tak paham, justru pemerintah memberikan perhatiannya untuk
taman yang berlabelkan agama, Baha’I tersebut. Walaupun sempat tokoh-tokoh
bangsa ini menunjukkan sikap pro dan kontrak namun pemerintah membuka tangannya
dengan sedikit lebar dan sedikit tertutup, setidaknya bias dilihat dari
pernyataan Ketua MUI (Mewakili
Pemerintah) “Baha’i merupakan agama yang keberadaannya diakui institusi” entah
konstitusi di bagian mana yang iya maksud.
Penulis
pernah memberikan komentar dalam sebuah artikel tentang Baha’I, isi komentar
saya kurang lebihnya seperti ini: ‘kalau mau liberal, Liberal aja. Bagaimana
baha’I yang perkembangannya tidak terdata secara jelas, baik secara kronoli
maupun metodologinya, justru menarik peerhatian bangsa ini (pemerintah). Kalau
memang mau bicara soal HAM, kebebasan seseorang unutk memeluk agama, bagaimana
kabarnya HAM untuk penganut agama asli nusantara ini. Apakah mereka (penganut
agama asli nusantara in) apakah mereka tidak dimasukkan dalam lingkup HAM.
Penulis tidak akan membahas dari sudut pandang hokum dari artikel ini, penulis
akan membahas kesempatan lain.
0 Response to "Indonesia Masih Gandrung Taman Tetangga"
Post a Comment