PINTAR ITU BISA JADI APA DAN PUNYA APA BUKAN BISA BERBUAT APA
Ada yang
unik dari khazanah pandangan kebanyakan orang madura, dimana segala sesuatu
dipandang dari segi materi, bukan dari nilai subtansi dan kemanfaatan. kita
boleh memiliki yayasan pendidikan dengan banyak prestasi yang dihasilkan anak
didiknya, kita boleh menjadi pribadi yang dapat membantu banyak orang disekitar
dalam banyak persoalan, tapi sepanjang tidak memiliki apa-apa untuk gengsi
hidup jangan berharap mendapat label pintar dari masyarakat.
Pernah
suatu ketika, ada sala Seorang Kepala Desa di Kabupaten Bangkalan (tidakperlu
disebutkan; dari arah pinggiran), berpendapat; “lihat dia Mas, (yang di maksud adalah pengasuh salah satu yayasan Pendidikan) kuliahnya ke luar negeri.
jauh-jauh begitu, pulang-pulangnya cuma buka yayasan, apa gak eman. setidak-setidaknya
dia bisa jadi DPR biar telihat lebih pantas. nah, kata lain dari eman adalah sangat
disayangkan kenapa hanya mendirikan yayasan, yang tidak sekolah saja bisa buka
yayasan, apalagi dia, mungkin seperti itu maksudnya. adapun kata lebih pantas,
adalah soal ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. mendirikan yayasan tidak
akan memiliki apa apa, untuk memenuhi kebutuhan primer saja susah apalaagi
kebutuhan sekunder dan tersier. saya tidak tau apakah DPR itu adalah posisi dan
cara paling instan untuk meningkatkan nilai sosial dan ekonomi dimata
masyarakat atau tidak. saya tidak faham.
si Afdal
itu pintar ya, sekarang sudah jadi Angkatan Darat, si Zainul sekarang sudah
punya mobil mewah sekelas Alparth, atau si Ainul yang sekarang punya banyak
proyek, hampir semua program pemerintah iya gaet, padahal mereka semua tidak kuliah
lho. kalau pintar ya pintar aja, gak perlu bangku kuliah segala. lihat tuh
buktinya si Buddin udah sekolah tingg-tinggi, banyak biaya yang di habiskan eh sekarang malah cuma jadi guru, lebih
sepuluh tahun masih tidak punya apa-apa. lLebih paranya lagi tuh si Karman citaci-tanya
memang tinggi banget, tapi semuanya nihil dan sampai sekarang masih gak jelas
pengahasilannya berapa.
Menyudutkan
dan menyalahkan itu memang suatu perbuatan yang sangat mudah, untuk melakukan
itu kita tidak perlu melakukan kajian apalagi sampai bedah buku, tidak perlu
sampai buka kitab kuning. memang selalu ada saja bahan masyarakat untuk menyududkan
alumnus perguruan tinggi yang masih menganggur itu, salah satu contoh yang lain
ini terjadi ketika belakangan ini madura menghadapi masa-masa pemilihan pilkades
serentak, ada selentingan baru untuk alumnus perguruan tinggi yang masih
menganggur itu: jangan sekolah tinggi-tinggi toh pada akhirnya, tetap Si Amin yang jadi klebun (Kepala Desa), lha
kamu yang sarjana bisa jadi apa, jangankan untuk membeli apa, untuk sekedar
memenuhi kebutuhan sendiri saja gak bisa.
Kalau mau
kita ingat kembali pada awal-awal masa transisi, banyak masyarakat yang
dihebokan dengan salah satu sosok menteri Kabinet Kerja, dimana salah satu
menteri terdapat seorang yang hanya lulusan bangku sekolah saja. Hal itu,
sekaligus menjadi bukti yang tak terbantahkan dan semakin menambah bahan
cemoohan, betapa pendidikan semakin tak
memiliki posisi di hati masyarakat, bahkan negarapun secara tidak langsung memberikan
pengakuan betapa rendahnya kualitas pendidikan yang ia punya.
Kadang-kadang
saya ngeri dengan mainstrim orang madura yang demikian itu, meletakkan harta dan
jabatan sebagai simbol kesuksesan setiap orang. Jika ada alumni perguruan
tinggi tapi miskin, itu artinya ia gagal mengimplementasikan ilmunya dan hanya
main-main saja semasa kuliah, sama dengan tidak serius. begitulah kurang
lebihnya apa yang mau disampaikan.
Proses
untuk menjadi kayaraya itu tidak penting, juga tidak harus halal, kaya saja itu
sudah pencapaian yang luar biasa. apakah harta kekayaan yang dimiliki merupakan
hasil korupsi, apakah hasil dari sebuah kejahatan, atau perbuatan curang dan
memeras keringat orang lain itu tidak jadi soal yang penting kayaraya, maka
anda akan terlihat mulia dihadapan masyarakat. kita bisa lihat beberapa media
media menyebutkan, bahwa tak sadikitpun saksi sosial yang diberikan oleh
masyarakat kepada mereka yang hasil kekayaannya diperoleh dari suatu perbuatan
yang tidak halal.
PIYE
IKI, JAL.
perubahan
sudut pandang telah mengubah trend dalam kehidupan masyarakat yang muaranya
telah memiliki dampak negatif. pecahnya kepengurusan di tubuh kelembagaan
adalah salah satu contoh kecil, demi kehormatan diri bahwa segala jabatan harus
dicapai dengan cara apapun.
Pandangan
yang demikian itu dalam satu sisi memang sangat membangun dan dapat mengobarkan
etos kerja yang tinggi, dimana setiap orang siapapun itu dituntut untuk
semaksimal mungkin mendapatkan posisi yang strategis baik di setiap lapisan
pemerintahan, kelembagaan, atau status sosial yang lebih tinggi di tengah
kehidupan bermasyarakat. Namun disisi lain justru menjadi pemadam mimpi seorang
untuk dapat dengan bebas berkarya, bukan terbatas pada mampu membeli apa,
tapi mampu menyumbangkan apa untuk kehidupan ini.
Naluri
untuk berkarya secara mandiri seperti apa yang diharapkan membutuhkan proses
yang tidak sebentar, tidak bisa instan. tidak cukup dengan kata “86, Ndan”,
tidak bisa diraih hanya dengan berpenampilan rapi pergi-pulang, pagi dan sore
sesuai petunjuk atasan dan gagah-gagahan seperti robot, yang hanya dikendalikan
dan terus dipantau dalam sebuah misi mengejar target orang lain, sehingga lupa
dengan target sendiri, lupa bahwa ada potensi-potensi sendiri yang lebih memiliki hak untuk di kembangkan.
Padahal Seorang
sarjana itu di didik sebagai pribadi yang tumbuh mandiri, kerja kreatif dan
kerja profesi bidang tertentu. ada diantara mereka yang senang dalam bidang
pekerjaan kantoran, ada yang suka kerja lapangan dan ada juga yang lebih suka
freeline. baik itu kerja kretif ataupun tematik dan ekspresif, yang jelas adalah
kerja keras dan kerja cerdas, disitulah berharganya manusia. Namun maysarakat
kita nampaknya tidak terbiasa dengan perbedaan profesi, selalu menginginkan keseragaman
dengan ensitas sama, selain itu juga bahwa nampaknya mereka tidak cukup
memiliki kesabaran untuk melihat sebuah keberhasilan, terlalu tergesa gesa
dalam memberikan penilaian. hal itu tentu kapan saja dapat membunuh akal sehat bagi
seorang perintis dan bisa saja menjauhkannya dari logika berpikir yang sehat
dan benar.
Nilai-nilai
sosial yang di tanamkan selama masa kuliah untuk lebih empati atas persoalan
sosial yang terjadi di masyarakat, justru dengan terpaksa harus dilucutinya,
dan berganti pada suatu bidang pekerjaan dengan berpenghasilan tetap. Nilai
berapapun tak jadi soal, yang terpenting tidak terjebak mainstream masyarakat,
sehingga terjadi banyak ketimpangan sosial terjadi, tanpa arahan tanpa solusi.
Seyogyanya
pra sarjana dapat membuktikan dirinya, sebagai seorang yang dapat keluar dari
mainstrem yang tidak mendidik, dari pandangan yanng menjauhkan seseorang dari
kemandirian dan kedaulatan menjadi seperti apa yang diharapkan dirinya.
Mari kita
ingat bahwa, andaikata Khalifah Umar, tidak membebaskan pola pikirnya dari
mainstrem kaumnya, maka kaum muslim tidak akan pernah mengharumkan namanya, dan
juga mungkin saat ini kita mereasa kesulitan membuat penukilan beberapa
terobosan hukum dalam hukum syar’i yang beliau pijakkan pada nilai kausalitas.
andaikata
walisongo menjadi pegawai rendahan raja, maka tidak ada mayoritas muslim di
nusantara ini. siapa yang akan mendidik masyarakat, siapa yang akan
mengislamkan raja raja nusantara. tugas dan tanggung jawab yang dimiliki
walisongo keluar dari mainstrem masyarakat kala itu.
Andaikata
bung karno, memilih kehidupan normal dan terlena dalam mainstrem masyarakat
masa penjajahan kala itu, maka siapa yang dapat memastikan bahwa hari ini kita
sudah bisa merdeka.
Andaikata
Widji Thukul kala itu, tidak memiliki keputusan untuk keluar dari mainstrem
orde baru, maka tak akan ada yang mendengar sajak sajaknya yang dapat menggugah
semangat para demonstran bahkan masih sering di bacakan sampai hari ini.
Andaikata
Syutan Takdir Alisyahbana kala itu meninggalkan kreatifitasnya, maka sampai hari
ini mungkin saya tidak bisa menggunakan bahasa indonesia secara benar dan baik
Andaikata,
RA. Kartini membiarkan pola pikirnya yang nakal (keluar dari kebiasaan
masyarakat di masanya) terpendam, dan memilih tidak disampaikan walau sekedar
melalui tulisan-tulisan, maka mungkin kaum wanita indonesia kesulitan untuk
mencari figur inspirasi kaum hawa. dan pastinya masih banyak lagi andai-andai
kata yang lain yang pada akhirnya mampu mengisi khazanah kemajuan bagi
kehidupan sosial bermasyarakat.
dan
andaikata saya tidak menulis hari ini mungkin tidak ada yang perlu saya ketik. Nha Lho…
intinya
adalah berkaryalah, sesuai apa yang anda, dan kita inginkan, bekerjalah
dimanapun sesuai kompetensi yang dimiliki, mengabdilah dengan jujur dan penuh
dedikasi yang tinggi karena setiap sisi setiap sudut akan dirasa kemanfaatannya
bila dilakoni secari serius dan bersungguh-sungguh. saya selalu menyimpan rasa
bangga bagi mereka yang mampu memerdekakan diri.
Merdeka
dalam sudut pandang saya adalah, ketika kita dengan gagah berani dengan
totalitas yang tinggi dan dengan loyalitas yang sesungguhnya tampil menjadi
seperti apa yang kita harapkan, dan pada akhirnya mewarnai nilai kemanfaatan yang
dirasakan oleh orang banyak, bukan sekedar berfikir apa yang dapat kita beli
dan apa yang dapat kita miliki, bukan apa yang dipikirkan masyarakat terhadap
kita, tapi menunjukkan apa yang telah kita perjuangkan untuk mereka.
ini Maduraku, bagaimana Maduramu...
mulai di
tulis di Bangkalan
di
selesaikan di Jombang, April 2017
0 Response to "PINTAR ITU BISA JADI APA DAN PUNYA APA BUKAN BISA BERBUAT APA"
Post a Comment