Surat untuk Sang Bung





Tanpa mengurangi rasa hormat dan kerinduanku atas batu nisan yang menggambarkan kegagahanmu, Maaf Bung dalam kesempatan ini tidak bisa mendengarkan kesaktian dari wejanganmu. Bukan aku tidak mendengar suara gamelan lirih atau metaphor yang terkandung. Namun bung saya akan lebih cemas ketika kau menanyakan “Dalam rangka apa, untuk apa dan mau apa, lalu sampailah pada pertanyaan seperti apa, bagaimana dan kenapa-lagi-lagi terus menyakitiku”.
Surat ini saya tuliskan teruntuk yang terkenang, semoga kau tenang dan damai, dalam dekapan hangat Tuhan yang Maha Esa semoga jasamu semasa hidupnya akan di perhitungkan sebagai amal baik-sehingga saat ini pada detik ini pula kau masih merasakan yang terbaik dari yang paling baik. Bung ijinkan aku mengutip dan mengamalkan prinsip dari saudara seperjuanganmu, Bung Tomo terpujilah yang “terdahulu”.

“selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga”

Tak perlu kau risaukan, sebab misi kita sama, sama dalam satu bakti. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak, kenang, kenanglah kami teruskan, teruskan jiwa kami menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Sekali lagi aku ingin mengutip tulisan dari Khairil Anwar “ini barisan tak bergendrang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu Sekali mati Sudah itu mati”
Salam hormatku, Bung dalam gerbang kemerdekaan yang kau peruntukkan untuk bangsamu, bangsa kita ini seringkali melenakan, Ideologi bangsa hanya sebagai status semu. seringkali saya di mabukkan oleh banyaknya kebijakan yang katanya demi bangsa dan Negara. saya melihat benih-benih penjajahan tertanam dalam setiap jiwa orang Indonesia, dan saat ini sudah mulai tumbuh subur.
Bung, bukan hendak menyakitimu dengan mengingaatkan semua peristiwa yang terbengkalai tak beraturan, bukan menyesali sebuah kemerdekaan yang nyaris tanpa peran, surat ini adalah ulasan dari perccakapan saudara-saudara yang kehilangan rumah tempat tinggalnya, dari saudara yang hilang kios-kios tempat jualannya, dari saudara pemulung di kampung-kampung, dari saudara yang jujur di kalahkan oleh kelalaian, dari saudaara-saudara pedalaman yang terus di manfaatkan, dari orang-orang yang “buta huruf” di penggal haknya.
Bung, keberadaan mereka semakin memprihatinkan tanpa ada titik terang. Semoga saja, Bung suara gamelan lirihmu terdengar kesemua plosok di negri ini. Perdengarkan terlebih kepada mereka pemilik stempel Negara.
Mas Karman Pemimpi, Pejuang, dan Penakhluk.

0 Response to "Surat untuk Sang Bung"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel